Ratih, Semoga Kau Bahagia....

Oleh. Ases ID Bakrie


"Sudahlah....

Mungkin cinta hanya bisa menyenangkan kita berdua saja, keluargaku tak

akan sampai merasakannya" wajah Ratih tertunduk menyembunyikan tangis, walau isaknya masih terdengar jelas oleh Yusuf.

"Jangan bilang begitu dik, mereka akan bahagia pula bila melihat kita bahagia."Yusuf terus lekat menatap Ratih yg makin menunduk.

"Apakah abang bisa menjamin...??" suaranya sedikit meninggi "kakakku dan adik-adikku belum bisa mencukupi kehidupannya,

walau dua kakaku sudah menikah,

tapi mereka masih saja menjadi beban Ayah dan Ibuku yang hanya buruh tani Bang, yg hanya bisa mendapatkan makan utk hari ini saja,

entah esok atau lusa qta makan apalagi...."

tangisnya pun semakin menjadi. "Apalagi dengan suaminya Kak Lasmi sudah hampir 5 bulan

belum ada kabarnya, entah dimana dia ?" padahal kandungannya sudah mulai menua"

"Iya, abang ga akan pernah bisa menjamin itu, adik sendiri tau abang hanya sebagai buruh sawah, sama seperti Ayahmu tapi

abang punya niat untuk menikahi adik dan membahagiakannya, sekarang tabungan abang sudah cukup untuk upacara pernikahan

walau hanya sederhana saja, dan nanti abang akan memulai usaha baru sebagai distributor pupuk dari teman abang yang ada dikota,

dan semoga saja bisa membantu keluarga adik nantinya, yang penting dalam hidup itu ada harafan utk menjadi lebih baik"

Yusuf coba menghibur Ratih.

"Nanti ?!...harafan...?! bukan itu yg kami butuhkan hari ini, bisa makan atau tidak... Ingat bang, qta delapan bersaudara,

Ayah dan ibuku sudah mulai sakit-sakitan,

Kaka dan adik2ku belum ada yg bisa diandalkan dan dua adikku yg paling kecil minggu kemarin divonis kurang gizi oleh mantri puskesmas"

Ratih menaikkan kepalanya dan menatap kecemasan diatas padi yang sudah tampak menguning.

"Ya, Abang ingat itu, dan kenapa itu Abang meminta adik untuk menikah, supaya beban Ayah & Ibumu sedikit menjadi ringan"

"Abang mungkin bisa bilang begitu sekarang, tapi nanti...abang akan merasakan yg aku rasakan sekarang dan mungkin saja abang menyesali pernikahan itu"

Ratih membuka rantang yg baru saja ia lupakan.

"Astagfirullah....Ratih, kenapa berfikir seperti itu, apakah adik meragukan apa yg abang katakan...abang perbuat selama ini, adakah janji abang yang pernah dikhianati,

berfikirlah sederhana, jgn mendahului Allah...terlalu jauh yang kau cemaskan dik"

Air muka Yusuf tampak bersedih, membelakangi Ratih...memandang kerbau yang sedang berkubang diwaktu jedanya.

"Bang....!" Ratih memanggil lirih

"Iya dik, Yusuf menoleh dan kembali pandangannya pada punggung kerbau itu yg telah setia menemani hari-harinya.

"Masih ingat dengan Pa Hasan...?

"Iya...masih, Juragan tanah dari kampung sebelah....yg pernah diceritakan Adik bulan lalu itu kan ?! Yusuf balik bertanya.

"Betul bang, tiga hari yang lalu dia datang lagi meminta pada ayah dan ibuku supaya aku mau menikah dengannya" Ratih menuang air teh dari poci kecil yg ia bawa.

"Terus apa kata Ayah dan Ibu ?" Yusuf menatap mata Ratih seolah meragukan kesetiaan janjinya,

yang sudah mereka ikrarkan pada malam purnama dua tahun yang lalu di acara syukuran panen desa .

"Ayah Ibuku menyerahkan semuanya kepadaku"

"Abang kagum pada kedua orangtuamu dik...walau dalam serba kekurangan beliau tidak silau dengan dunia...tidak mudah tergiur dengan harta, beliau sungguh bijak,

lalu apa yang adik bilang pada Pa Hasan itu...?

"Aku minta dia menunggu seminggu lagi untuk mendengar keputusanku" nada datar terucap dari bibir tipis Ratih

"Menunggu....apa maksudmu ?

"Biar aku bisa berfikir dewasa...dan sebijak kedua orang tuaku, bukan dengan emosi saat itu.

"Aku sering melihat banyak kesedihan diwajah kakak dan adik-adiku ketika pagi itu tiba,

disaat seharusnya qta berkumpul dan sarapan bersama lalu pergi sekolah seperti para tetangga,

qta hanya bisa menyebar mencari sesuatu yg bisa ditukar nanti untuk menjadi makan siang"

Aku sering iba ketika petang itu tiba karena semua adiku segera disuruh cepat tidur oleh Ibuku supaya lapar bisa tertahan sampai esok,

Aku sering menangis ketika Ayah dan Ibuku sakit dan aku seharusnya mengantarkan mereka ke dokter, tapi nyatanya aku tak bisa berbuat apa-apa"

Ratih kembali menangis sejadi-jadinya.

"Jangan kau teruskan dik, aku mengerti dan ikut merasakannya...dan kenapa itu abang selalu mengajakmu menikah dik"

Yusuf memeluk tubuh Ratih sambil menciumi rambut dikepalanya seolah ingin meyakinkan kesungguhan hatinya.

"Sudah sembilan belas tahun usiaku bang, tapi belum bisa melihat ayah dan ibuku bahagia" Ratih membalas pelukan Yusuf dan terus menyusup didada seperti ingin masuk

menyelami hati Yusuf.

"Percayalah dik, kau dan keluargamu akan bahagia setelah menikah denganku, Abang benar-benar mencintaimu."

"Tidak, Cinta tidak akan pernah berbagi tentang kesusahan dan kepedihan, Aku tidak ingin melibatkan cintamu pada keluargaku yg seperti ini, bukankah qta sama sama ingin

merasa bahagia, Aku ingin melihatmu bahagia bang...tapi tidak denganku"

"Abang semakin tidak mengerti dengan apa yang kau katakan dik, kita makan dulu saja biar fikiranmu menjadi cerah ya..!" Yusuf berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Demi ayahku, demi ibuku, demi keluargaku dan demi Abang....Aku akan menerima pinangannya Pa Hasan... Bang"

Yusuf menarik nafas dalam-dalam, laksana mimpi buruk yang barusan terdengar "Baiknya kau fikirkan lagi dik ! apakah kamu mencintainya ? apakah kamu yakin bahagia dengannya ?

Apakah keluargamu akan menjadi lebih baik dengan keputusanmu ini ?

"Keputusanku telah aku fikirkan berulang kali dan aku semakin yakin...

memang aku tidak mencintainya dan aku tak peduli lagi dengan rasa itu karena dengan rasa itu aku hanya senang sendiri ketika bersamamu bang,

Mulai hari ini biarlah cerita qta dalam kenangan" Ratih pun berdiri dengan isak tangis mulai melangkah gontai.

"Dik Ratih...jangan kau sakiti perasaanmu dengan keputusanmu ini jgn korban kan hatimu padanya...kau pantas bahagia hanya denganku" Yusuf menarik tangan Ratih yang mulai beranjak pergi.

"Keyakinanku sudah bulat bang, hanya dengan seperti ini aku berbakti...ini bukan pengorbanan tapi pengabdian seorang anak pada orang tuanya" Ratih terus melangkah pergi dan semakin jauh.

"Ratiiiih......" teriakan Yusuf tak bisa menahannya lagi

Empat bulan kemudian, Ratih dan Yusuf tak lagi pernah bertemu,

kabar mulai tersiar, berita sudah beredar... Pa Hasan juragan tanah itu akan menikahi Ratih anaknya Pa Marta minggu depan..... hingga sampai ke telinga Yusuf.

Yusuf hanya termenung lesu ketika mendengar itu dari tetangga samping rumahnya,

"Puncak rindu itu,

Ketika qta tak lagi bertegur sapa,

Ketika qta tak lagi bertelpon,

Ketika qta tak lagi berSMS,

Tetapi qta terus saling mendo'akan,

Semoga kau benar-benar bahagia dik...!"

Sambil mengemasi pakaian yg hendak dibawa ke kota besok subuh, Yusuf bergumam :

"Maavkan abang... tidak bisa menghadiri upacara pernikahanmu dik,

Biar kenangan yg lalu tak ikut bersanding merubah keyakinanmu,

Hatiku tak sekuat batu disungai itu,

Yang telah setia menahan qta dua tahun lamannya,

Sikapku tak semudah burung pipit itu,

Hinggap dan terus hinggap dipadi yang lainnya ketika qta mengusirnya,

Perasaan ini tak merasakan biasa ketika kehilanganmu,

Karena Cinta yg tak biasa tak akan pernah hilang begitu saja,

Segitiga di Pemecutan

Oleh. Ases ID Bakrie

Terik matahari di langit kuta yang menyayat kulit siang itu tak membuatku membatalkan sebuah pertemuan yang telah kujanjikan dengannya. Jam 12.46 terlihat tak sengaja ketika kumelirik satu sisi dinding tempat tidurku, “ Empat belas menit lagi waktu itu akan tiba” gumamku sambil kuraih jaket kulit coklat lusuhku. Kuhampiri garasi disamping rumah dan kutunggangi sepeda motor F1ZR inventaris kantor itu.

Aku pun bergegas memacu karena tak ingin dia menunggu lebih lama dengan kegundahan hati yang semakin menumpuk menjadi kegelisahan yang tak menentu. Dia sebutlah Leni, wanita yang ahir-ahir ini telah menjadi bagian hidupku semenjak aku tinggal di Pulau ini. Ruas-ruas jalan raya di Denpasar waktu itu sangatlah lenggang karena bertepatan dengan hari minggu yang sebagian kendaraan memang terkonsentrasi ke arah kuta, sanur, ubud dan zona wisata lainnya yang ada di bali. Tepat dipasar badung kuberhenti sebentar untuk membeli sebungkus nasi jenggo agar perutku yang belum sempat terisi dari tadi pagi tidak memalukan saat nanti disana. Setelah perutku cukup terisi kulanjutkan perjalananku dan tidak terasa tempat dia yang kutuju sudah semakin mendekat dan aku pun melambatkan sepeda motorku untuk segera menepi lalu masuk ke sebuah gang kecil di pemecutan. Rumah no 14B sudah terlihat didepan mata, tak menunggu lama langsung aku masukan sepeda motor ini ke halaman rumahnya yang kebetulan pintu pagarnya dibiarkan terbuka oleh pemilik rumah.

Senyum manis tersungging dari bibirnya yg tipis, begitulah cara dia menyambutku di teras rumahnya sambil beranjak berdiri menghampiriku. Reflek aku menyapanya dengan salam,

“Assalamualaikkum Len ?”

“Wa’alaikkum salam” Jawab Leni tak lupa senyumnya kembali terlintas.

“Apa kabar Len ? dengan sedikit berbasa-basi kubertanya sambil kubalas senyumannya tak lupa tangan kuulurkan untuk berjabat dengannya.

“Alhamdulillah not bad lah, kaka sendiri gmn kabarnya ? sambil mempersilahkan duduk di kursi rotan terasnya yang warnanya sudah memudar tekena sengatan matahari dan tampias air hujan.

Kutatap wajahnya yang manis itu, walau baru minggu kemarin aku terakhir ketemu denganya, tapi tak pernah bosan rasanya menatap bola matanya yang terlihat ceria yang selalu membuat rasa rindu ini tak tertahankan. Wajah dia memerah saat dia sadar ku lekat memandangnya dan spontan dia memalingkan wajahnya sambil melangkah pergi kedalam, dan mata ini pun masih enggan lepas dari sosoknya walau hanya rambut hitam sebahu sedikit ikal dan belakang tubuhnya yg bisa dilihat akupun sedikit bergumam “sempurna……….” Sampai tak terlihat karena terhalang partisi ruang didalamnya dan barulah pandanganku teralihkan pada bocah kecil yang sedang asyik main kelereng dihalaman rumah.

“BRAAAAAK…………..!!”

Tiba-tiba ada suara keras terdengar seperti benda jatuh ke lantai,

“Aaaawwww…………..!!”

Jeritan pun terdengar menyusul,

Aku pun terkaget ketika ada suara keras dari dalam rumah dan langsung kuberdiri dari tempat duduk dan berlari ke dalam rumah,

………bersambung

Lalim yang berkelit

Oleh. Ases ID Bakrie

Kabar banyak terdengar,

Berita sibuk tersiar,

Ribuan buruh migrant dikemas dengan peti mati,

Kabar banyak terdengar,

Berita sibuk tersiar,

Hanya satu, dua atau tiga saja yang dapat simpati retorika,

Ketika tayangan siksa keji pada buruh migrant muncul di TV,

Kabar banyak terdengar,

Berita sibuk tersiar,

Kekerasan sexual & fisik mesti berahir dengan jasad di tong sampah,

Kabar banyak terdengar,

Berita sibuk tersiar,

Para pejabat riuh berkelit,

Para penjilat mencuci tangan,

Mereka tak peduli lagi harga diri apalagi martabat bangsa,

Mereka hanya peduli bagaimana berpaling meyelamatkan diri,

Aku benci para lalim berdalih di televisi mlm ini……………..

Pesan singkat untuk istriku, nanti...

Oleh. Ases ID Bakrie

Assalamuallaikkum,

Istriku yg selalu kucintai,
di meja kerjanya siang ini,

Setiap kumelihat kau tertidur, tampak terlihat kau pulas kepayahan.
Siang dan malam tak ada bedanya bagimu, tak hentinya kau menari dengan pekerjaan di kantor dan dirumah,
Tak hentinya kau menyanyi mengingatkan setiap keteledoran itu selalu terulang.

Setiap kumelihat kau tertidur, kumerasa iba dengan ketulusanmu.
Kau rela tertidur sebentar saja, demi suamimu ini yg tak pernah tau seberat apa kau bekerja dikantormu.
Mungkin sama seperti ditempatku bahkan mungkin lebih berat.
Namun kau masih bisa memperlakukanku dalam kewajaran.

Setiap kumelihat kau tertidur, kumerasa pria yang sangat lemah,
Karena seolah tak bisa membuatmu menikmati hidup yg sebenarnya.
Menit-menitmu seperti rantai yg saling terkait macam kepentingan.

Setiap kumelihat kau tertidur, Aku ingin menjadi pria yang kuat,
ingin kuberkata "Tinggalkanlah pekerjaan kantormu...!!
Biarkanlah suamimu ini meretas semua beban yg seharusnya terpikul,
Karena ini memang kodratku....kodratku sebagai suami,"

Setiap kumelihat kau tertidur, ingin rasanya kumerasakan kehangatanmu,
Mengantarkanku diujung rumah ketika kupergi,
Menyambutku didepan pintu ketika aku datang,
Menemani ku menghabiskan segelas susu dimeja makan sebagai penutup sarapan,
Menemani ku makan malam sambil mendengarkanku cerita tadi siang,
Tak membisu lagi ketika kita berdua ditempat tidur,
Tidak seperti sekarang....sebuah keluarga yg hanya namanya saja.

Istriku yg selalu kucintai,
Izinkanlah suamimu ini untuk meminta,
Lepaskanlah pekerjaanmu sekarang juga,
Jadikanlah aku pria terhormat yang menghormatimu sebagai perempuan dan sebagai ibu nantinya,
Biarkanlah Aku menafkahi semua keperluan qta sendiri tanpa kau harus bersusah payah,
Dengan keyakinanku, dengan kekuatanku sebagai pria,
Katakanlah dan pintalah setiap keinginanmu hanya kepadaku saja, suamimu...!
Pecayalah Aku bisa meluluskan segala permintaanmu.

Wassalam


Suami Yang mencintaimu

Sesal Faizal

Oleh. Ases Id Bakrie

"Kau yang telah bahagia bersamanya, maafkanlah aku yg belum bisa melupakanmu"

Faizal menulis sebaris kalimat dibalik photo close up seorang wanita berukuran 2R dalam frame metal berwarna silver,

photo seorang gadis manis berambut ikal panjang yang selalu tersenyum seolah mentertawakan atas setiap penyesalan yang dialami Faizal ahir-ahir ini.

Candra Septiany, nama gadis yg ada diphoto itu masih selalu dipuja nya sampai kini. Dialah wanita yang telah mengisi hari-harinya tepat setahun silam.

Wanita yang cantik baginya, teramat baik untuk mengerti disetiap kondisi, termasuk sesulit apapun itu, dia selalu tampak tersenyum dengan kedewasaannya.

Disetiap masalah dia selalu hadir utk menjadi solusi atau hanya sekedar mencari tau info nya saja dan itu sudah cukup menguatkan hati Faizal.

Memandang photo itu sama saja dengan keharusan Faizal untuk mengingat dan mengenangnya kembali ketika Candra masih lekat dalam hatinya.

Dari long distance sampai dekat dalam satu kota yang sama, tak ada yang berubah

dalam kesetiaan Candra, dia selalu bercerita tentang hari-harinya dengan lugas disetiap pertemuan,

selalu bilang ketika mau pergi kemana saja dan dengan siapa saja walau terkadang Faizal tak meluluskannya, tapi Candra tetap menerimanya dengan senyum.

Waktu itu Faizal begitu meyakini bahwa Candralah yang akan dipersuntingnya nanti.

Candra tak pernah berusaha menyakiti hati Faizal dengan menceritakan setiap lelaki yg pernah dekat denganya kecuali Faizal sendiri yang meminta untuk menceritakannya.

Bahkan ketika Faizal terjebak cinta segitigapun Candra lah yang berperan besar menyelesaikannya dengan baik. "Kenapa aku begitu bodohnya mengakhirinya saat itu, andaikan aku tahu rasanya akan seperti ini,

aku tak akan pernah mengakhiri hubungan itu" Faizal sambil menarik nafas dalam-dalam yang sepertinya enggan untuk melepaskan nafasnya kembali.

"Sudah setahun ini aku menikahi kerinduan yang sangat mendalam, seperti sumur yang tak ada dasarnya,

entah sampai kapan rindu tanpa arti ini terus bermukim dalam savana hati ini" Faizal terus bicara sendiri dikamarnya ditemani alunan musik dari album Rihana,

salah satu penyanyi yang disukai Candra. Faizal meletakkan kembali photo itu ditempat semula dimeja nakastnya disamping kanan tempat tidurnya yang terlihat berantakan,

yang tak pernah sampai terjadi ketika Candra masih bersamanya.

"Kujadi ingat kembali, saat itu ketika aku pertama menginjakkan kaki dikota ini dan memutuskan untuk tinggal dan memulai hidup baru ditempat ini,

bolos dari tempat kerja dengan susah payah kau menjemputku di travel shutle yang jauh dari tempatmu tinggal,

walau dengan tiga kali salah arah ahirnya kita bertemu juga, sampai kau mengantarkan aku ke sebuah Paviliun kecil sebagai tempat tinggal baruku yg kau cari seminggu yg lalu"

Faizal terus merefresh memorinya.

"Paviliun yang situasi dan kondisinya sesuai dengan keinginan dan kebiasaanku padahal aku tak pernah mengutarakannya dgn detail,

tapi dia memang telah mengerti aku begitu rupa, dan mungkin itu pula yang membuat aku merasa nyaman dengannya"

Faizal kembali menarik napas panjang, sorot matannya lekat menggantung dilangit-langit kamar.

"Dia telah banyak berkorbann demi cintanya padaku bukan dengan kamuplase yang banyak ditampilkan banyak wanita diatas altar alasan dan perasaan.

Kau wanita kota yang berlaku sederhana seperti wanita desa, tak banyak yang kau lihat dariku, tak banyak yang kau perbandingkan

dengan yang lainnya, selain kerelaan hati menerimaku, dan kau hanya melakukan apa yang kau rasakan dengan penuh pengertian yang membuat hatiku menjadi teduh."

"Dahulu aku fikir kau adalah cikal dari adik-adik mu tapi nyatanya kau anak tunggal satu-satunya tapi kadang aku tak habis fikir prilakumu jauh dari egois, yang

biasa dipertontonkan oleh anak tunggal kebanyakan" Faizal melirik kembali frame photo itu yang penghuninya masih tetap tersenyum, yang semakin terus membangkitkan

kenangannya yang masih tersimpan berjilid-jilid didalam otaknya, dan tak ada satupun jilid tentang kejelekannya ditemukan. Aku memaksa mengakhirinya bukan karena ketidaknyamanan

ataupun karena kesalahannya tapi karena ketidakpercayaan tentang masa lalunya, padahal dia telah menceritkan semuannya sampai hal yang tak pantas aku perdengarkan." Faizal mencoba bangkit dari

pembaringannya lalu ditariknya salah satu laci meja kerjanya, dan ditemukanlah surat pertama dan terakhir yg pernah ditulis Candra dengan tangannya sendiri di alinea terakhirnya tertulis ;

"Bila masih menghitung rasa sakit,

sudah sangat banyak sayatan dihatiku,

Tapi setiap kau kembali menyentuh hatiku,

Luka itu nyaris hilang tanpa bekas,

Sejatinya kamu telah menjadi penawar dari setiap luka yg kau iriskan sendiri dihatiku,

Tapi sekarang.....

Ingat dan fikirkanlah setiap kau akan kembali padaku,

Janganlah lagi kau haraf kembali ketika kau hanya merasa sepi,

dan kau ahiri lagi ketika keraguan itu datang,

karena air mata sbg penyejuk hatiku telah habis,

...kembalilah bila kau ingin menikahiku,

TTD

Candra

"Huuuhhh...."

Faizal menghela nafas dan menghebuskannya jauh seperti ingin melempar rasa sesal yg menumpuk dihatinya,

"Candra dengarkanlah, aku ingin menikahimu sekarang...tapi semuannya sudah terlambat,

kau telah menjadi seorang nyonya dari tuan yang bernama Andika,

seorang pria yang sabar menungguimu enam tahun lamanya, dan dia juga mungkin sama seperti aku pernah ragu padamu tapi aku yakin dia lah pria yg beruntung."

Faizal melipat surat kembali seperti semula dan menaruhnya dilaci yang sama.

"Mungkin temanku benar, dia pernah bilang padaku setiap kemudahan adalah jalannya Tuhan,

dan bila kamu mempersulitnya dengan permainanmu sendiri apalagi dengan mengujinya, mungkin kamu sedang tidak percaya dengan Tuhan dan mempermainkan takdir itu yg sedang menghampirimu,

dan sekarang aku meyakininya takdir itu memang ada dua Illahiah dan Ikhtiariah, jodoh adalah ikhtiariyah yg fifty-fifty, separuh kuasa Tuhan dan separuhnya lagi

totalitas pengharafan & usaha"

Jam dinding kamar berdenting tiga kali menunjukan sudah jam tiga pagi, Faizal kembali naik ke tempat tidur, sambil melirik photo wanita itu lagi,

"Slamat pagi Candra, ikutlah tidur bersamaku saat ini saja...!!

Faizal memejamkan matanya dan berharaf candra hadir dimimpinya.

lima menit berselang "twiiit....twiiit...." ternyata ponsel Faizal berbunyi rupanya ada tweetupdate dari @lifecase:

"@lifecase, Penyesalan memang selalu tertunda diakhir, karena setiap penyesalan terjadi ketika menunda atau menghentikan hasrat hati dan waktupun tak pernah berlaku sama seperti dulu.

Penyesalan bukanlah alasan menjadikan diri terpuruk tapi suatu keharusan untuk terus belajar dari hikmah setiap kejadian untuk meningkatkan kualitas hidup.

Slamat pagi para follower....!!"

Menanti Penari,

Oleh. Ases ID

Penari itu tak kunjung tiba, penari yang merelakan setiap jengkal lekuk tubuh mulusnya jadi tontonan setiap mata para keranjang. Yang belum bisa terpuaskan oleh setiap para istrinya yang telah setia menemaninya bertahun bahkan berbelas tahun yang lalu.

Mungkin mereka ingin bernostalgia pada masa lalunya ketika istrinya masih ranum berseri layaknya buah segar yang baru dipetik.

Isi botol-botol itu telah berpindah pada gelas-gelas beling yang entah sudah berapa kali habis oleh mereka dan terisi kembali oleh jari-jari lentik berkutek pink lima perempuan genit yang berlaku nakal.

Gelas surga, itu yang mereka anggap dan bikin terus terulang tertuang ke mulut-mulut gelisah. Ritme musik club malam semakin menderu seperti suara riuh dipacuan kuda yang minggu lalu sempat kulihat.

"Mana si putih itu Jack ? Sudah dua jam neh kita menunggu" Ray berteriak tak mau kalah dengan dentum speaker yang terus memekakan telinga,

"Masih pasang silikon kali, biar tambah yahut.......ha...ha..." dari meja seberang paling jauh terdengar suara lamat-lamat dibalik kerasnya musik , rupanya tubuh kurus bertato naga dilengannya, suara itu bersumber.

Tinggal satu jam lagi jatah mereka diruangan itu, ruang No. 8 yang disewa sepuluh orang rutin, sebulan sekali di setiap awal bulan.

Semua dana sebenarnya sudah disiapkan dari kas perusahaan tempat mereka bekerja, sebaagai dana entertaint biasa mereka bilang.

Mic sudah tak terhitung berpindah tangan, dari sofa kulit hitam ujung depan sampai sudut paling dalam, rasanya sudah tak ada yang terlewat, sebagian dari mereka parau, mungkin mereka itu tak biasa berteriak,

Disitu mereka merasa merdeka dengan dirinya, lepas berteriak dgn lagu-lagu yang dihapal liricnya walau terkadang ngaco,

Setengah jam lagi ruang No. 8 akan diisi oleh member berikutnya, penari itu tak kunjung datang. Suasana mulai ricuh, setelah Ray "sikepala suku" begitu mereka menyebutnya mulai kasar melampiaskan kekesalannya, Perempuan-perempuan genit didepannya menjadi bulan-bulanan mulut-mulut mereka yang tak lagi terkontrol, tangan-tangan yang tak lagi beretika atas komando air-air terkutuk yg telah bersatu dengan darah mereka. Memperdaya otak mereka seperti sigila dijalanan. Situasi semakin tidak terkendali

"Crazzzzk....." pecahan botol menjadi additional perkusi mengiringi musik yang terus beralun, ditambah gelas dipaksa jatuh oleh mereka.

Ruang itu sudah seperti ruang karantina pasen gila yang baru masuk dua menit yang lalu, Mereka terus berteriak mempertanyakan penari itu, penari yang telah membuat mereka berharaf, berharaf bisa menghilangkan hasrat gundahnya, Sekarang mereka mulai merasa kecewa karena telah dibohongi janji manis penari berkulit putih yang melekat ditubuh aduhai.

Setelah dirasa panik dan diluar kendali lima perempuan itu, salah satu diantara mereka, tepatnya yang paling dekat dengan meja operator memencet tombol darurat security,

Tak lama berselang empat pria bebadan tinggi besar masuk ke dalam ruang 8, tanpa basa-basi, apalagi kompromi langsung menarik tubuh-tubuh sempoyongan yang tak habisnya terus meracau dan menantang security dengan menegakan punggung saja sudah tak mampu.

Yang masih sadar terlihat dengan rela hati mereka keluar sambil meununtun temannya yang sudah mulai ambruk tanpa daya.

Aku, yang hanya bisa terdiam menyaksikan mereka, mengikuti mereka keluar. Ruang 8 telah kosong, dengan jejak berantakan dan musik masih terus menderu.

Diteras ruang, mereka menunggu lunglai seperti masih berharaf penari itu akan segera tiba tetapi sampai jam 5 penuh, penari itu tidak tampak juga dan pupus sudah harafan mereka di bilas rasa kecewa yang mendalam.

"Tuhan terima kasih, Kau telah selamatkan untuk kesekian kalinya"

Lingkungan yang tidak baik mungkin bisa saja membawa setiap orang pada keburukan, tapi tidaklah demikian bagi mereka yang selalu mempertahankan prinsif hatinya, prinsif yg selalu berpegang pada nilai-nilai kebenaran, Karena campur tangan Tuhan akan selalu terus menjaganya, dalam situasi dan kondisi apapun...